Oktober 24, 2011

Mampir di Parkiran

Sudah memasuki tahun kedua aku berangkat dan pulang sekolah mengendarai motor sendiri. Setiap aku naik motor tersebut seolah- olah aku mendengar bunyi seerrrti...fikasi...., yah memang aku tak bisa menampik bahwa aku membeli motor tersebut adalah uang hasil sertifikasi. Walaupun sebetulnya aku malu karena tunjangan tersebut yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan mutu sebagai seorang pendidik yang profesiaonal,  baru aku gunakan hanya untuk mempermudah transfortasi saja. Tapi tak apalah yang penting aku tidak terlambat datang ke sekolah dengan motor tersebut. Sebetulnya  aku pun miris ketika seorang Prof.  .... dosenku mengatakan, "Ibu tahu tidak, kalau uang sertifikasi tersebut adalah uang  hasil dari pinjaman pada bank dunia yang hutangnya harus dibayar oleh anak cucu kita?"
Digunakan untuk apakah uang tersebut, Bapak/Ibu? sebagian oleh guru- guru uang tersebut digunakan untuk pergi ke mall, mentraktir teman- teman, membeli peralatan elektronik, kulkas, TV, kredit mobil?
Berapa persenkah yang digunakan untuk kuliah lagi? masih mending jika digunakan untuk pergi haji?

Huff's sakit rasanya hati ini mendengar pernyataan tersebut, tapi apa mau dikata toh rezeki tersebut juga datangnya dari Allah, karena aku sendiri tak pernah menyangka akan mendapat tunjangan tersebut. Sebab di luar sana masih banyak teman- teman juga yang belum mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Pada akhirnya aku serahkan pada Allah saja, semoga rezeki yang aku terima menjadi berkah.  Wadduuh kenapa jadi jauh amat yah ceritanya...kembali ke parkian ah...
Sensasi asyik di parkiran (parkir motor yah, bukan mobil) adalah aku bisa mengenal semua teman- temanku dari unit TK sampai SMA, ( tempat sekoalahku mengajar memang dari TK sampai SMA). Aku merasa sangat dekat karena secara ekonomi hampir sama, berasal dari golongan yang tidak jauh dengan motor kreditan (hehehe, maaf jangan marah dan tersinggung yah...)
Motor- motor yang digunakan rata-rata motor yang sudah mulai tua, lihat saja motor Pak Doddy guru SMP yang kabel- kabel lampunya terlihat dimana- mana,ketika aku iseng bertanya, "kok motornya pada telanjang, pak?" beliau tersenyum dan bangga membunyikan suara motornya yang berbunyi mirip dengan mercon.... trok...tok..tok...ini motor penuh sejarah bu....

Tidak jauh denganku tiba- tiba Pak Eko guru SMA mendorong Vespa kesayangannya, aku berpikir manakah yang lebih tua, Pak Eko atau Vespanya?
Sementara disebelah timur  ada Pak Romli asal Citapen dan Mas Supri yang tengah sibuk mengganti knalpot motornya. Yah Pak Romli memang punya bengkel motor di rumah, yang berdampak pada pengembangan usahanya hingga bisa merambah ke dunia sekolah. "lumayan buat tambah- tambah biaya kuliah anak" begitulaah Pak Romli berdalih.

Berlalu lalang ditempat parkir ini, senantiasa membuatku bersyukur, dengan sesuatu yang aku miliki. Bagaimanapun aku masih lebih baik. sebab jika melihat Zenal sang tukang parkir yang lulusan pesantren ia hanya mendapatkan upah yang tidak jelas, jika ada yang memberi uang maka ia bisa mendapatkan penghasilan. Tapi aku tahu ia bekerja dengan ikhlas sebab jika hujan datang ia bergerak dengan cepat mengambil satu persatu helm- helm yang tergantung di motor. Pernah suatu ketika hujan deras, helmku basah kuyup, kemana Zenal tidak mengangkatkan helmku, ternyata ia sakit.