April 16, 2009

Ema in Memoriam

‘ Mencoba bertahan dia atas puing- puing cinta yang tlah rapuh…” dari Rossa dan Pasya Unggu

Nada panggil pada HP tiba- tiba berbunyi saat aku shalat magrib di sebuah mushola kecil di tempat parkir Kimia Farma jalan Ir. Hj Juanda Bogor. Untuk mengantar Yudha ke Dokter THT, karena telinganya sakit.

Pasti ini sebuah berita penting yang mengganngu dan membuyarkan kekhusukan shalat magribku. Aku terus melanjutkan shalatku, setelah selasai berzikir kemudian kubuka HPku ternyata dari Dede adikku, aku telpon balik ia memberitahuku dan berkata “Mak Citayam meninggal…

Aku tidak tahu harus bilang apa, dengan refleks aku mengucapkan

”iinnalillahi wa innalillahurojiun, tapi dikuburkan?” Jawabku dengan gaya selengean,

”Ya.. Iyalah.... katolik juga manusia harus dikubur......” jawab Dede.

Tak ada rasa sedih dan kehilangan ketika aku mendengar nenekku meninggal, tak pernah ada kenangan indah yang aku rasakan dengan memiliki seorang nenek seperti layaknya seorang cucu. Mungkin ini disebabkan oleh perbedaan keyakinan yang dipilih oleh pihak kami.

Nenekku seorang yang berasal dari keturunan Tionghoa dan Belanda bernama Gow Hok Shie, awalnya beragama Kong Hu Chu, kemudian pindah ke agama Katholik ketika pemerintahan Suharto melarang agama Kong Hu Chu, sementara sang kakek telah lama minggalkan nenek sebelum Ibu menikah dengan Bapak, jadi ibuku adalah seorang mualaf ikut Bapak yang beragama Islam. Maka aku jadilah seorang anak yang beragama Islam sejak lahir.

Kedekatanku dengan nenek tidak seperti kebanyakkan orang yang senang jika mempunyai nenek. Ema adalah panggilan nenek atau lebih spesipic lagi adalah Ema Citayam (to be continue)

Tidak ada komentar: